Teori Jean Baudrillard : Era Simulacra dan Hiperrealitas terhadap Pemberitaan Covid-19 di Indonesia
Teori Jean Baudrillard tentang Simulacra, Simulation, dan Hiperrealitas. Salah satu contohnya dalam pemberitaan Covid-19 di Indonesia. Bagaimana caranya bersimulasi, yang mengakibatkan hiperrealitas, yuk baca ulasannya.
Sosiologi Info - Teori Jean Baudrillard tentang Simulacra, Simulation, dan Hiperrealitas. Salah satu contohnya dalam pemberitaan Covid-19 di Indonesia. Bagaimana caranya bersimulasi, yang mengakibatkan hiperrealitas, yuk baca ulasannya.
Pemberitaan Covid-19 di Media. Saya beruntung. Di rumah tempat saya tinggal sekarang tidak ada televisi (tv). Selama 30 hari ini, saya di rumah dengan aktivitas menulis, membaca, dan menanam bunga, serta membersihkan halaman.
Saya hanya membaca berita ketika perlu untuk saya membacanya, tidak sering. Terutama dalam pemberitaan Covid-19 yang ada di Indonesia.
Berbagai media massa, baik cetak dan online, saling kejar, dan saling cepat dalam memberikan kabar terkait informasi terbaru perihal Corona.
Maklum saja, ini pandemi global yang membuat lumpuh hampir semua sektor, bidang pendidikan, ekonomi, pariwisata, dan sektor lainnya.
Saya coba mengeceknya di Google : Berita COvid-19 di Indonesia, yang muncul beragam. Ada yang menuliskan, lonjakan kematian Covid-19, sebaran kasus Covid-19, update data Covid-19, dan berbagai berita lainnya.
Tidak hanya dalam pemberitaan, baik di TV dan Media Online Berita, berbagai kanal media sosial juga hampir memenuhi beranda kita.
Saya tidak sering membuka Facebook, tapi kalau lagi suntuk dan lagi santai biasanya saya buka Facebook, ya siapa tau ada kawan lama yang menghubungi saya kan.
Alih-alih ingin melihat pesan dari kawan, di beranda facebook facebook hampir penuh pemberitaan tentang Covid-19 di Indonesia dan Dunia.
Saya pun memilih untuk tidak terlalu sering dalam mengakses media sosial pada saat sekarang, karena penuh isinya berita seputar Covid-19.
Pemberitaan yang dilakukan oleh beberapa media portal berita membuat simulasi, yang mana fakta terhadap kejadian yang real/nyata dalam Covid-19 itu sendiri tidak bisa lagi kita membedakannya, atau memilahnya sebagai sebuah fakta atau nyata.
Misalnya, pemberitaan kesiapan atau persiapan Indonesia dalam menghadapi Covid-19, baik itu tim medis, peralatan, rumah sakit, dan tim yang tergabung dalam penangan Covid-19 di Indonesia.
Ada berbagai banyak judul dan pemberitaan yang menuliskan bagaimana persiapan Indonesia dalam menanggulangi wabah Covid-19, agar tidak menyebar, dan bisa menyelamatan masyarakat agar yang terjangkit bisa sembuh.
Yang lebih mirisnya lagi ada portal berita nasional yang menuliskan kaitan orang yang merokok dapat kebal terhadap virus Covid-19, duhh ini seakan-akan bener dan menjadi bias oleh masyarakat yang membacanya.
Tidak hanya itu, ada juga berita yang ditulis berkaitan dengan kekebalan didaerah yang tidak banyak terjangkit Covid-19, sebut saja Mistersi Warga B*li Kebal Corona, dan berbagai judul yang membuat orang seakan percaya terhadap isi berita tersebut.
Dari beberapa hasil riset yang saya baca, kebanyakan dari kita hanya suka membaca judul beritanya saja, sehingg ini yang mengkhawatirkan.
Ketika media berita online tidak bisa lagi memberikan pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistiknya.
Inilah yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai Era Simulacra, Simulation, dan Hiperrealitas. Ketika pemberitaan yang dimuat bermain simbol, dan yang mengonsumsi atau membaca berita itu masyarakat.
Yang mana tidak bisa lagi kita membedakan kebenaran, fakta, yang real dari sebuah berita tersebut. Inilah Hiperrealitas. Untuk lebih lanjut lagi perihal pembahasan Jean Baudrillard, yuk baca terus.
"Yang Real telah Mati, dan digantikan oleh Simulasi,"
Jean Baudrillard
Era Simulasi yang Real Telah Mati. Simulacra merupakan perpaduan antara nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Pada realitas ini kita tidak lagi menemukan referensi atau representasi kecuali simulacra itu sendiri.
Coba kita lihat sekarang, pemberitaan media terhadap Covid-19 seperti yang sudah saya jelaskan diatas, media telah bersimulasi dalam berita yang disampaikan kepada publik.
Maraknya pemberitaan media terhadap Covid-19 memberikan dampak secara psikologis masyarakat.
Kamu bisa baca tentang Simulacra : Berita Hoax Era Simulasi yang Real Telah Mati https://www.sosiologi.info/2018/03/berita-hoax-era-simulasi-yang-real-telah-mati-baudrillard.html
Disinilah simulasi atau simulacra itu mulai terjadi, dalam berbagai berita, yang masyarakat sebagian tidak bisa memilah dan membedakan kebenaran isi berita tersebut, terhadap fakta yang sebenarnya terjadi.
Itulah era simulacra atau simulasi, yang dibentuk oleh berbagai hubungan tanda dan kode secara acak tanpa adanya acuan yang jelas atau referensi.
"Saat ini simulasi adalah realitas secara menyeluruh, baik politik, sosial, sejarah, dan ekonomi, yang mulai sekarang menggabungkan dimensi simulasi-hiperrealisme,"
Jean Baudrillard
Kita sekarang hidup dalam satu era yang disebut era simulasi, atau zaman dimana keaslian dan dunia kultural yang cepat lenyap, kata Baudrillard.
Simulasi yang terjadi merupakan penghilang antara yang real dengan yang imajiner, nyata dengan palsu. Itulah istilah Simulacra (Simulacrum), dan Simulasi (Simulation), memiliki perbedaan yang tipis.
Dalam pemberitaan yang dilakukan perihal Covid-19 di Indonesia, salah satu contoh bagaimana berita yang dibuat tersebut, telah bersimulasi, bermain simbol terhadap apa yang dituliskan.
Mulai dari judul tulisan, foto/gambar, dan isi berita yang terkadang tidak relevan, inilah yang dikonsumsi atau dibaca masyarakat, sehingga terus terjadi simulasi yang kuat disana.
Dengan bacaan yang dimuat tersebut, masyarakat tidak bisa lagi membedakan, mana yang memang real fakta, dan mana yang imajiner, masyarakat akan susah untuk membedakannya, apalagi Pandemi Covid-19 ini masih berkeliaran luas.
Memang, sebagian masyarakat mungkin bisa membedakan mana yang real fakta dan mana yang hanya imajiner, tetapi hal ini jika terus diulangi, maka akan berdampak secara psikologis masyarakat.
Psikolog : Pemberitaan Covid-19 Picu Gejala Psikosomatis. Dilansir dari Republika.co.id, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Cabang Jambi membuka layanan konseling online bagi warga Jambi dalam menghadapi dampak psikologis dari penyebaran COVID-19 di Tanah Air.
Dari hasil konseling terlihat bahwa animo masyarakat untuk mengakses konseling online yang ditangani atau direspon oleh psikolog dari sejumlah daerah di Provinsi Jambi itu cukup tinggi. Melalui kegiatan itu bisa disimpulkan bahwa kecemasan masyarakat cukup terlihat.
"Bila melihat dalam beberapa hari terakhir, gejala kecemasan sampai psikosomatis telah dirasakan masyarakat," kata Psikolog Dr Novrans Eka Saputra, Senin (30/3).
Novrans, melanjutkan, bahwa setiap pemberitaan mengenai Covid-19 menstimulasi mereka cemas dan cenderung berdampak lebih buruk.
Menurut Novrans, peran media dalam menyampaikan informasi itu sangat diperlukan, serta adanya penampingan satu sama lain di lingkungan masing-masing.
Dampak dari kecemasan setelah mendapat informasi atau kabar terbaru terkait Covid-19, kadang mempengaruhi kondisi tubuh.
"Salah satu bentuk reaksi kecemasan yang lazim adalah tiba-tiba merasa ingin batuk, meriang, kekhawatiran berlebih, bahwa dirinya terpapar Covid-19," tuturnya.
Kamu bisa baca lebih lanjut disini : https://republika.co.id/berita/q8170x463/psikolog-pemberitaan-covid-19-picu-gejala-psikosomatis
Hiperrealitas. Hiperrealitas menciptakan satu kondisi yang didalamnya kapalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur masa kini, fakta bersimpangan siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran.
Kamu juga bisa membaca disini tentang Hiperrealitas : https://www.sosiologi.info/2018/03/hoax-bersimulasi-hiperrealitas-real-imajiner-satu.html
Beberapa pemberitaan Covid-19 yang sudah saya sebutkan sedari awal, bahwa mereka telah berhasil bermain simulasi, dengan kode yang dibangun.
Kode yang dibangun telah berhasil mematikan realitas yang nyata dan munculnya realitas baru, dimana itu yang tidak nyata.
Baudrillard mengemukakan konsep kode yang dilihatnya begitu penting dalam suasana modern akhir. Konsep kode itu muncul karena era komputer dan digitalisasi secara global saat sekarang ini.
Ia memberikan kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek situasi, karena itu kode bisa membaypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan baru munculnya realitas yang disebut dengan Hyperreality.
Hiperrealitas dapat menghapuskan perbedaan yang nyata (real) dengan yang imajiner. Misalnya, pada konten pemberitaan covid-19 yang begitu marak, sehingga masyarakat yang membacanya tidak lagi bisa memfilter konten berita tersebut.
Simulasi itu terus berulang, bahkan ada yang membuat beritanya bertolak belakang pada saat awal dia membut berita, seperti kasus yang sudah saya contohnya dari awal tulisan ini.
Pemberitaan itu yang diadopsi masyarakat, hingga melebur menjadi satu. Inilah salah satu contoh, era simulasi yang membuat hiperrealitas itu terjadi dengan bermain kode, yang nyata (real) tidak bisa lagi dibedakan, ketika yang imajiner diterima oleh masyarakat.
Simulasi yang dimaikan, sangat terstruktur, dan mempunyai target yang jelas dalam penyebaranya. Inilah yang dikatakan oleh Jean Baudrillard bahwa Hiperrealitas selalu siap untuk direproduksi.
Pemberitaan Covid-19 yang tidak disaring dengan baik, asal banyak baca, ini memberikan pengaruh, dan berhasilnya simulasi itu bermain kode.
Rojek dan Turner, hiperrealitas yang dilakukan ahli Nasa dalam menyempurnakan gambar yang diberikan atau yang diperoleh melalui satelit agar gambar lebih indah dan kelihatan spektatuler.
Begitulah yang terjadi sekarang, pemberitaan pandemi Covid-19 yang terus bersimulasi memberikan kode, sehingga terjadinya hiperrealitas dilingkungan masyarakat kita di Indonesia.
Baru-baru ini terjadi, seseorang yang dinyatakan ODP di Blitar, bahkan nekat membakar dirinya sendiri, padahal kondisi ODP yang belum tentu juga dia positif.
Begitu tertekannya psikologis seseorang tersebut, ya mungkin saja karena terlalu mendapatkan informasi terkait penangan, atau informasi penyembuhan covid-19 yang dia baca tidak relevan.
Misalnya, tidak adanya obat saat sudah dinyatakan poisitf, atau passien covid-19 yang tidak bisa sembuh total, serta berbagai pemberitaan saat ini yang masih simpang siur.
Nah, itulah era simulacra, yang membentuk hiperrealitas dalam kasus pemberitaan Covid-19, sehingga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap psikologis masyarakat yang membaca dan mengonsumsi berita tersebut.
Sumber referensi yang bisa kamu baca :
https://www.sosiologi.info/2018/03/berita-hoax-era-simulasi-yang-real-telah-mati-baudrillard.html
https://www.sosiologi.info/2018/03/hoax-bersimulasi-hiperrealitas-real-imajiner-satu.html
https://republika.co.id/berita/q8170x463/psikolog-pemberitaan-covid-19-picu-gejala-psikosomatis
Sumber foto :
https://www.gesuri.id/pemerintahan/pasca-pandemi-covid-dunia-menuju-ke-transhumanisme-ekologis-b1YIUZsum